SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI ACEH, De Aulia
SEJARAH PENDIDIKAN
ISLAM
DI ACEH
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Anung Al Hamat, Lc., M.Pd.
Dr. Ulil Amri Syafri Lc.,
MA.
OLEH :
DE AULIA RAMADHAN
UNIVERSITAS IBN
KHALDUN
MAGISTER
PENDIDIKAN ISLAM
2019
BAB
I
Pendahuluan
1.1.Latar
Belakang
Indonesia terdiri dari banyak
Provinsi yang memiliki banyak lembaga pendidikan dan sistem pendidikan
sendiri.Salah satu provinsi yang memilikinya yakni Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalaam yang dikenal dengan sebutan negeri Serambi Mekah.Pada zaman sebelum
kemerdekaan yakni dari tahun 1900 -1945 pendidikan di Aceh banyak dipengaruhi
oleh sistem pendidikan di Minangkabau. Sehingga banyak kitab-kitab yang
digunakan di Minangkabau sama dengan kitab-kitab di tanah Aceh.
1.2.Rumusan
Masalah
Ruang lingkup yang ingin diangkat
pada makalah ini adalah sistem pendidikan di Aceh pada periode sebelum
kemerdekaan RI dan setelah kemerdekaan RI. Oleh sebab itu permasalahan yang
ingin diketahui jawabannya adalah tentang seperti apa pendidikan Islam di Aceh
sebelum dan sesudah kemerdekaan RI 1945.
1.3.Tujuan
Makalah
Adapun tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui sejarah pendidikan di Aceh
2.
Mengetahui model pembelajaran di Aceh
3.
Mengetahui tokoh-tokoh dan lembaga pendidikan yang ada di Aceh
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak mulai
masuk Islam ke tanah Aceh (+- 1290 M) maka pendidikan dan pengajaran Islam
mulai lahir dan tumbuh dengan amat suburnya.Terutama setelah berdiri kerajaan
Islam di Pasei.Waktu itu banyaklah ulama di Pasei membangunkan pesantren-pesantren
seperti Teungku di Geureundong.Teungku Cot Mamplang dan lain-lain.Maka
banyaklah pelajar-pelajar dating ke Pasei dari daerah-daerah lain untuk belajar
agama Islam.Maka dengan bantuan pemerintah Islam dan masyarakatnya,
pesantren-pesantren, surau-surau, dan langgar-langgar dapat trersebar dari
kota-kota sampai ke dusun-dusun.
Pada zaman
Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh pada awal abad ke-17, tanah Aceh telah
menjadi Serambi Mekah.Ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis (tahun 1511 M)
banyak ulama-ulama dan muballigh-muballigh Islam pergi meninggalkan Malaka
berpindah ke Aceh.Disana mereka mendirikan pesantren dalam rangka menyiarkan
agama Islam dan mendidik calon alim ulama dan Fuqoha.Hal ini menjadi alas an
utama mengapa di Aceh banyak para alim ulama dan ahli sastra Islam Indonesia.
Diantara ulama-ulama yang masyhur antara lain :
1.
Syeikh Nuruddin Ar Raniry
2.
Syeikh Ahmad Khatib Langin
3.
Syeikh Syamsuddin As-Sumtrawi
4.
Syeikh Hamzah Fanshuri
5.
Syeikh Abdur Rauf dan muridnya
6.
Syeikh Burhanuddin yang kemudian menjadi ulama besar di
Minangkabau.
Diantara ke
enam ulama yang masyhur tersebut terdapat nama syaikh Abdur Rauf yang memiliki
jasa terbesar terhadap Islam di Nusantara. Beliau menterjemahkan Al Qur’an dari
bahasa Arab ke bahasa Melayu yang dapat kit abaca sampai saat ini. Adapun kitab
terjemahan tersebut bernama Tarjumanul
Mustafid bil Jawi yang diambil setengah maknanya dari Tafsir Al Baidhowi,
Syeikh Abdur Rauf bin Syeikh Ali al Fanshuri Al Jawi. Kitab terjemahan tersebut
dicetak pada tahun 1302 H dan tahun 1342 H.
Berikut ini adalah sebagian contoh
dari Tafsir Tarjumanul Mustafid.karya
Syeikh Abdul Rauf bin Syeikh Ali Al Fanshuri cetakan Setambul tahun 1302 H
Bismillahirrahmanirrahiim
1.
Dengan nama Allah yang amat murah di
dalam dunia ini, lagi yang amat mengasihi hambaNya yang mukmin di dalam negeri
akhirat ini juga, aku mengambil berkat pada membaca Al Fatihah ini.
2.
Segala puji tsabit bagi Allah, Tuhan
yang mempunyai segala makhluk
3.
Lagi tuhan yang amat murah di dalam
dunia ini, lagi yang amat mengasihani hambaNya yang mukmin di negeri akhirat
itu.
4.
Raja yang memerintahkan pada hari
kiamat
5.
Kami tentukan akan Dikau ibadat dan
kami tuntut daripadaMu tolong atas berbuat ibadat dan yang lain
6.
Beri petunjuk oleh Mu akan kami
jalan yang betul
7.
Jalan segala mereka itu yang telah
Kau anugerahi nikmat atas mereka itu, lain daripada jalan segala yang dimurkai
atas mereka itu dan lain daripada jalan segala orang yang sesat.
Jika diperhatikan bahwa yang
terjemahan diatas bukanlah terjemahan surat Al Fatihah melainkan terjemahan
tafsir surat Al Fatihah. Sebab para ulama zaman dahulu mengharamkan
menterjemahkan Al Qur’an, melainkan hanya boleh menterjemahkan tafsirnya.
Selain itu, para ulama Aceh telah mengarang kitab-kitab dengan bahasa Aceh, diantaranya
ada berupa sya’ir seperti : Akhbarul Kiram, Bahaya Siribene, dan banyak lagi
kitab-kitab berisi ilmu pengetahuan dan nasehat. Dengan demikian mudah meresap
pelajaran Islam dalam hati orang banyak serta lekas paham dan mengerti sebab
ditulis dengan bahasa mereka sendiri.
Namun sangat disayangkan tidak ditemukan dalam sejarah tentang
bagaimana cara pendidikan dan pengajaran Islam yang dilakukan pada masa itu,
apa kitab pelajaran yang mula-mula diajarkan dan berapa macam-macamnya sendiri.
Demikianlah pendidikan dan pengajaran Islam mendapat kemajuan di tanah Aceh
selama raja-rajanya mendukung penuh dan turut memajukan pendidikan Islam
bersama alim ulama.
Namun seiring berjalannya waktu,
Raja-Raja tidak lagi mementingkan agama sehingga berpengaruh terhadap kemajuan
pendidikan Islam di tanah Aceh.Negeri menjadi kurang aman, antara satu kampung
dengan kampung lainnya saling sengketa dan saling selisih.Satu negeri
bertengkar dengan negeri lainnya karena ingin menguasai daerah yang lebih
luas.Tentu hal ini berdampak kepada berhentinya kegiatan pendidikan Islam di
tanah Aceh.
Keadaan Aceh pada saat itu
benar-benar kehilangan rasa aman.Pergi ke pasar saja harus membawa bedil dan
tombak, harus membawa klewang dan rencong. Hal ini disebabkan karena mereka
memiliki rasa takut akan dirampok di tengah jalan dan di tempat yang sepi.
Waktu itulah ulama tidak dapat menjalankan pengajaran agama sebagaimana
mestinya.Para alim ulama terpaksa menunggu orang datang ke Surau dan langgar
mereka untuk belajar agama.Berbagai tabligh ke kampung-kampung terpaksa
dihentikan, yang ada hanya khutbah Jum’at sepekan sekali dan itu hanya boleh
menggunakan bahasa Arab yang tidak dipahami oleh banyak orang.Oleh sebab itu
tidak heran bahwa pendidikan dan pengajaran Islam di tanah Aceh mengalami
kemunduran.
2.2.
Perang Aceh
Kemunduran demi kemunduran di sektor
pendidikan dan pengajaran Islam di Aceh semakin bertambah dengan adanya perang
Aceh.Perang ini berlangsung selama 31 tahun dari tahun 1873 – 1904 antara
rakyat Aceh dengan Belanda.Hingga akhirnya Belanda berhasil menaklukkan Aceh
berakhirlah peperangan tersebut.Maka pada tahun 1904 adalah titik penghabisan
dari kemunduran pendidikan dan pengajaran Islam di tanah Aceh.Setelah negeri
aman, maka para ulama mulai membuka pesantrennya dan mulai menyiarkan agama
Islam secara lunak dan tidak menyinggung politik pemerintah sebab dilarang
keras oleh pemerintah Belanda.
2.3.
Rencana Pengajaran Agama (Pada masa kemunduran di Aceh)
Rencana pengajaran agama di Aceh
pada masa kemunduran hampir sama keadaannya dengan di Minangkabau. Mula-mula
belajar alif-ba-ta dan Juz ‘Amma kemudian mengaji Al-Qur’an sampai
tamat.Setelah tamat Al Qur’an mulai belajar kitab-kitab agama bahasa Jawi
(Melayu). Menurut kebiasaan diawali dengan kitab : Masailal Muhtadi, kemudian
berturut-turut kitab : Bidayah, Miftahul Jannah, Shiratal Mustaqim, Sabilal
Muhtadin, Majmu’, Furu’il Masail dan lain-lain (1). Semua kitab itu dikarang
dalam bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Arab-Melayu.Setelah kitab-kitab
tersebut tamat kemudian dilanjutkan dengan kitab :
Dlammun,
Al’Awamil, Ajrumiyah, Fiqh (Al Minhaj), Tafsir Jalalain dan seterusnya seperti
tasawwuf dan lain-lain.
2.4.
Masa Perubahan
Pada masa perubahan lahirlah
pesantren-pesantren yang mengajarkan bermacam-macam kitabdalam berbagai
disiplin ilmu agama Islam seperti juga di daerah-daerah lain. Diantara
pesantren-pesantren yang termasyhur ialah :
1.
Pesantren Tgk. H, Hasan Aceh Besar
2.
Pesantren Tgk. H. Abu Bakar Cut, Kota Lhokseumawe.
3.
Pesantren Tgk. H. Arbi, yaitu Tgk. Di Oelee Ceue
4.
Pesantren Tgk. Baden, Peudada
5.
Pesantren Tgk. H.M. Amin, Cot Meurak (Bireun)
6.
Pesantren Tgk. H. Idris, Tanjongan (Samalanga)
7.
Pesantren Tgk. H.M. Thaib Kuta Blang (Samalanga)
8.
Pesantren Tgk. Di Yan, Garot (Pidie)
9.
Pesantren Tgk. Abd. Rahman, Meunasah Meucap. (Matang Gelumpang II)
10.
Dan lain lain
Rencana pelajaran agama di Aceh pada
masa perubahan adalah hampir sama dengan Minangkabau, yaitu mempelajari
kitab-kitab : Fathul Qarib, Fathul Mu’in,
Al Mahalli, Ajrumiyah, Azhari, Kawakib Quthrun Nada, Al Fiyah dan
sebagainya
2.5.
Lahirnya Madrasah Madrasah di Aceh
Madrasah yang mula-mula didirikan di
Aceh, ialah Sa’adah Abadiyah di Belang Paseh Sigli (tahun 1930), didirikan oleh
Jam’iyah Diniyah yang dipimpin Tgk. Daud Beureuh.Kemudian didirikan Madrasah
Darul Huda di Bambi, Madrasah Al Muslim di Peusangan (Bereun, 13 April 1930),
Jadam dan Ma’had Iskandar Muda (MIM) Lampaku, Aceh Besar pada tanggal 1 Januari
1940.
Selain dari pada itu masih banyak
madrasah yang tersebar dari kota-kota hingga ke dusun-dusun berupa madrasah
ibtidaiyah dan tsanawiyah.Pada tanggal 27 November 1939 didirikan Normal Islam
di Bireun oleh PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dibawah pimpinan M. Nur Al
Ibrahimi.
2.6.
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)
PUSA didirikan pada tanggal 12 Rabi’ul
Awal 1351 H (5 Mei 1939) dengan susunan pengurus sebagai berikut :
Ketua I :
Tgk. M. Daud Beureuh
Ketua II : Tgk. Abd.
Rahman Matang Gelampang Dua
Sekretaris I : Tgk. M.
Nur Al Ibrahim
Sekretaris II : Tgk.
Isma’il Yakub
Bendahara : Tgk. H.
Mustafa Ali
Dan dibantu oleh beberapa orang komisaris.Kedudukan Pengurus Besar
ditetapkan di Sigli.Tujuan dan Maksud didirikan PUSA dapat kita petik dari
salinan surat pertama yang dikeluarkan oleh P.B. PUSA sebagai berikut :
1.
Mensyiarkan, menegakkan dan mempertahankan syi’ar Islam yang suci
2.
Mempersatukan faham ulama Aceh tentang hukum-hukum Islam sedapat
mungkin
3.
Memperbaiki dan mempersatukan rencana pengajaran sekolah-sekolah
agamadiseluruh tanah Aceh
4.
Kemudian ditegaskan, bahwa PUSA bukanlah suatu perserikatan berdasarkan
politik dan PUSA tidak akan mencampuri urusan politik.
Surat terebut ditandatangani oleh Ketua I dan Sekretaris I.
Pada tahun 1940 PUSA mengadakan
kongres ke-1 di Sigli.Dalam kongres itu ditetapkan rencana pengajaran
madrasah-madrasah untuk seluruh daerah Aceh.Prof. Mahmud Yunus turut diundang
menghadiri kongres itu untuk memberikan saran dan nasihat tentang susunan
madrasah dan rencana pengajarannya.Kehadiran Prof. Mahmud Yunus dalam rangka
menciptakan persatuan rencana pengajaran madrasah-madrasah seluruh Sumatera
khususnya dan Indonesia pada umumnya.
2.7.
Rencana Pengajaran Madrasah-Madrasah di Aceh
Umumnya boleh dikatakan, bahwa
rencana pengajaran madrasah-madrasah di Aceh hampir sama keadaanya dengan di
Minangkabau. Sebagaimana di Minangkabau rencana pengajaran itu adalah adalah
menurut kemauan guru masing-masing madrasah, maka begitu juga keadaannya di
Aceh. Rencana pengajaran itu hampir mirip dengan rencana pengajaran di
Minangkabau apalagi sebagian guru-guru madrasah di Aceh berasal dari pendidikan
Madrasah di Minangkabau, seperti keluaran Thawalib, Normal Islam, Islamic
College dan lain lain.
Misalnya madrasah-madrasah : Sa’adah Abadiyah, Nurul Huda, Al Muslim dan
lain lain semuanya mempunyai tujuh kelas dan kitab kitab yang hampir sama
dengan kitab-kitab yang dipakai pada Thawalib atau diniyah.
Pada mula-mulanya mata pelajaran
madrasah-madrasah itu melalui ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab saja dan sedikit
ilmu bumi Mesir dan tarikh Islam.Kemudian dimasukkan pengetahuan umum
sebagaimana halnya di Minangkabau.
Rencana pengajaran Normal Islam
Bireun hampir mirip dengan rencana Normal Islam PGAI Padang. Lama pelajarannya
pun sama juga yaitu 4 tahun sesudah tamat diniyah / Thawalib (7 tahun). Setelah
berlangsungnya kongres PUSA, maka diusahakanlah persatuan rencana pengajaran
madrasah-madrasah seluiruh Aceh.
2.8.
SRI, SMI, SGHA, PGA di Aceh
Setelah Indonesia merdeka (+- tahun
1947) madrasah-madrasah ibtidaiyah di Aceh berubah jadi SRI (Sekolah Rakyat
Islam). Lain dari pada itu didirikan pula SMPI untuk sambungan SR. Pada tahun
1946 Normal Islam di Bireun di pindahkan ke Kota Raja, kemudian diubah menjadi
SGI (Sekolah Guru Islam). Pada tahun 1951 SGI itu dijadikan SGHA negeri dibawah
kementerian agama.Sedangkan SMI Kota Raja dijadikan PGA negeri.
Lebih 200 buah SRI di Aceh menjadi
sekolah negeri untuk anggaran belanja kementerian agama RI.Pada tahun 1954 SGHA
di tiadakan dan dijadikan PGA lengkap (dari kelas I – VI).Dan PGA Negeri Kota
Raja dipindahkan ke Medan menjadi PGA Lengkap.
2.9.
Madrasah Islam Modern (MIM) Langsa
Salah satu Madrasah Modern di Aceh
adalah : Madrasah Islam Modern didirikan pada tahun 1948. Tujuan madrasah itu
adalah mencipta kader-kader masyarakat Islam. MIM mempunyai 4 bagian :
1.
Bagian permulaan (Ibtidaiyah)
2.
Bagian Pendahuluan
3.
Bagian Menengah Pertama
4.
Bagian Menengah Atas
2.9.1.
Bagian Permulaan
MIM bagian permulaan memberi
pelajaran agama (mengaji) dan mengajarkan bahasa Arab tingkat permulaan bagi
murid-murid SR. Bagi murid-murid SR yang belajar pagi hari, pelajaran diberikan
sore, mulai jamm 14.00 bagi murid-murid yang berlajar sore, pelajaran diberikan
pagi hari, mulai jam 8
2.9.2.
Bagian Pendahuluan
Yang diterima pada MIM bagian
Pendahuluan ialah anak-anak yang mempunyai syarat-syarat :
1.
Untuk kelas I : tamat kelas V / VI SR dan pandai membaca Al Qur’an.
2.
Untuk kelas II : tamat kelas V.
SRI atau kelas IV Ibtidaiyah / diniyah
Pelajaran dititikberatkan pada mata pelajaran agama dan bahasa
Arab, sehingga dalam tempo 2 tahun murid-murid mempunyai pengetahuan agama /
bahasa Arab setingkat dengan SRI 7 tahun
2.9.3.
Bagian Menengah Pertama
Yang diterima belajar pada MIM bagian menengah pertama ialah yang
mempunyai syarat :
a.
Tamat MIM bagian Pendahuluan
b.
Tamat Ibtidaiyah / SRI
Lama belajar 3 tahun dari kelas I – III. Pelajaran agama atau
bahasa Arab setingkat dengan tsanawiyah pelajaran umum setingkat dengan SMP
2.9.4.
Bagian Menengah Atas (Persiapan)
Yang diterima belajar pada MIM bagian menengah atas ialah yang
mempunyai syarat :
a.
Tamat MIM bagian menengah pertama
b.
Tamat madrasah lain yang pengetahuan agama / bahasa Arab setingkat
dengan Tsanawiyyah dan pengetahuan Umum setingkat dengan SMP. Lama belajar 4
tahun (dari kelas I – IV ). Pelajaran agama dan bahasa Arab, sebagai sambungan
dari Tsanawiyyah.
Pelajaran umum setingkat dengan SMA bagian A pada bagian menengah
atas diajarkan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pendidikan dan
pengajaran, sehingga MIM bagian menengah atas itu merupakan tempat pendidikan
kader gurusekolah lanjutan.MIM mempunyai gedung sekolah yang besar lagi modern.
BAB
III
KESIMPULAN
Aceh merupakah wilayah di Indonesia
yang memiliki keunikan tersendiri.Masyarakatnya memiliki kepedulian yang sangat
besar terhadap pendidikan Islam.Selain itu Aceh juga menerapkan syariat Islam
pada penegakan hukumnya yang disebut dengan Qanun Aceh, Keberadaan Qanun Aceh
ini memberikan dampak positif terhadap pelaksanaan Pendidikan Islam di Aceh.
Pendidikan sebelum kemerdekaan di
Aceh banyak mengikuti sistem pendidikan Islam di Minangkabau yang pada saat itu
terkenal dengan lembaga pendidikan Thawalib. Di Thawalib inilah banyak ulama-ulama
Aceh menimba ilmu oleh sebab itu kitab-kitab yang digunakannya pun banyak
memiliki kesamaan. Sementara itu sistem
pendidikan setelah kemerdekaan RI terjadi pemisahan antara pendidikan umum
dengan pendidikan agama.Sehingga siswa yang ingin belajar pendidikan Islam,
maka mereka harus menambah waktu belajar di sekolah yang berbeda.
Namun dengan adanya pemisahan
pendidikan umum dengan Islam tidak menyurutkan masyarakat Aceh dalam menimba
ilmu agama. Keduanya tetap berjalan beriringan dan saling menopang satu sama
lain.
Comments
Post a Comment