LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SUMATERA THAWALIB PARABEK BUKITTINGGI, RISKI BAYU PRATAMA
LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM SUMATERA THAWALIB PARABEK BUKITTINGGI
Tugas
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradaban dan Pembaharuan
Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu:
Dr. H. Ulil Amri
Syafri, Lc., MA
Dr. H. Anung Al Hamat, Lc.,
M.Pd.I
Disusun oleh :
Riski Bayu Pratama
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS IBNU
KHALDUN BOGOR
2018
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq
dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dapat menjalankan aktivitas
sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur kepada Nabi Besar Muhammad
SAW serta keluarga dan sahabat beliau yang telah membawa kita dari jurang kesesataan
menuju sebuah kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kedamaian.
Suatu
rahmat yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis syukuri, karena
dengan kehendaknya, taufiq dan rahmatnya pulalah akhirnya penulis dapat
menyelasaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Peradaban dan Pembaharuan Pendidikan Islam.
Adapun judul makalah ini adalah: “Lembaga Pendidikan Islam Sumatera
Thawalib Parabek Bukittinggi”
Selanjutnya
penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada dosen pengampu mata
kuliah Peradaban dan
Pembaharuan Pendidikan Islam yang selalu berjuang,
yang selalu memberikan saran, koreksi dan motivasi yang sangat membangun. Dan
juga tidak lupa penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada teman-teman
Magister Pendidikan Agama Islam kelas 2B yang juga tidak luput memberi bantuan
kepada penulis, dari segi moril maupun materil.
Makalah
ini merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat maksimal sebagai manusia
yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis menyadari bahwa makalah
ini banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Jadi saran, kritik dan
koreksi yang membangun sangat penulis harapkan dari rekan-rekan semua.
Akhirnya,
kepada Allah jualah kita memohon. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan. Dan dengan memanjatkan do’a
dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal dan mendapat ridha
dan balasan serta ganjaran yang berlipat
ganda dari Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Depok, 14 Maret 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah....................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................ 2
C.
Tujuan .................................................................................. 2
D.
Manfaat ............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 4
A.
Pembaruhan
Pendidikan Islam di Sumatra Barat ................ 4
B.
Sejarah Sumatra Thawalib ................................................... 7
C. Transformasi
Surau Parabek Menjadi Lembaga Pendidikan Islam Sumatra Thawalib Parabek
Bukittinggi .......................................................................... 11
BAB III PENUTUP................................................................................. 21
A.
Kesimpulan .......................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 22
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Islam masuk ke Minangkabau sejak abad pertama hijriah,
sekitar abad ke-7 M melalui pesisir Minangkabau.[1]
Surau, sebuah tempat peribadatan sejak zaman Hindu/Budha menjadi sebuah media
untuk menyebarkan agama Islam. Surau Islam pertama yang dikenal adalah Surau
Ulakan, didirikan oleh Syekh Burhanuddin, yang diguanakan untuk melakukan
aktivitas pengajaran dan penyebaran agama Islam. Syekh Burhanuddin Ulakan juga
mengembangkan ajaran tarekat Syattariah sebagai upaya untuk memperbaiki
perilaku masyarakat Minangkabau yang jauh dari ajaran agama Islam.[2]
Keadaan yang memprihatinkan di Minangkabau menimbulkan perpecahan dalam
masyarakat Minangkabau, sehingga mereka terbagi menjadi dua, yaitu golongan
adat dan golongan tua. Kedua golongan ini mencapai puncak konflik dan
menyebabkan pecahnya Perang Paderi selama 17 tahun sebelum akhirnya dapat
ditumpahkan.
Pembaharuan Islam kedua di Minangkabau dimulai oleh
seorang tokoh yaitu Syekh Ibrahim Musa. Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek
lahir di nagari Parabek, Bukittinggi, pada hari Minggu, 12 Syawal 1301 H atau
bertepatan dengan 1882 M.[3]
Setelah menuntut ilmu, ia mendirikan pengajian Al-Quran dan kitab di Surau
Parabek. Di suraunya, ia mengajarkan murid-muridnya dengan system halaqah yang
tidak memiliki batasan waktu dalam belajar pada 1908. Kemudian, ia melakukan
perubahan terhadap sistem pendidikan di suraunya, yaitu mengganti system halaqah
menjadi system klasikal pada 1921. Dalam system klasikal, murid-murid
dibagi ke dalam tingkat-tingkat dan waktu belajarnya dibatasi.
Metode pendidikan Sumatera Thawalib Parabek yang
dibuat Syekh Ibrahim Musa membawa perubahan yang signifikan pada suraunya. Dari
sebuah surau yang menggunakan system halaqah menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam dengan
system kelas. Hal ini dianggap sebagai cara Surau Parabek menghadapi
perkembangan zaman colonial Hindia Belanda, yaitu dengan mempertahankan misi
pendidikan Islam untuk mempelajari agama namun lulusannya tetap dapat beradaptasi
dengan perkembangan zaman.
Dari
permasalahan di atas sangat menarik perhatian penulis untuk membuat karya
ilmiah berupa makalah dengan menetapkan judul makalah: “Lembaga Pendidikan Islam Sumatra Thawalib
Parabek Bukittinggi”.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
keberadaan masalah yang diuraikan di atas maka timbul beberapa pertanyaan dalam
makalah yaitu:
1.
Bagaimana
pembaruhan pendidikan Islam yang terjadi di Sumatra Barat?
2.
Bagaimana
sejarah Sumatra thawalib?
3.
Bagaimana
transformasi surau Parabek menjadi lembaga pendidikan Islam Sumatra Thawalib
Parabek Bukittinggi ?
C. Tujuan
Tujuan
dari makalah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yang telah diungkapkan
di atas yaitu:
1.
Mengetahui
pembaruhan pendidikan Islam yang terjadi di Sumatra Barat.
2.
Mengetahui
sejarah Sumatra Thawalib.
3.
Mengetahui
transformasi surau Parabek menjadi lembaga pendidikan Islam Sumatra Thawalib
Parabek Bukittinggi.
D. Manfaat
Terdapat
2 manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu manfaat secara teoritis
dan manfaat praktis.
1.
Manfaat
teoritis
a.
Hasil
makalah ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah karya
ilmiah di bidang Peradaban dan Pembaharuan Pendidikan Islam .
b.
Sebagai
pemahaman dan pengetahuan baru mengenai Peradaban dan Pembaharuan Pendidikan
Islam.
2.
Manfaat
praktis
a.
Bagi
Pemerintah
Makalah ini diharapkan dapat
memberi masukan kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan
pendidikan agar pendidikan di Indonesia dapat lebih baik dari sebelumnya.
b.
Bagi
Lembaga Pendidikan
Makalah ini diharapkan dapat
memberi sebuah wacana dan pengetahuan baru kepada peserta didik, guru, dan
kepala sekolah tentang Peradaban dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Sumatera Thawalib.
c.
Bagi
Pemakalah
Dapat dijadikan dasar kajian dalam
usaha untuk membantu peserta didik, guru dan kepala sekolah dalam memahami
sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembaruhan
Pendidikan Islam di Sumatra Barat
Kondisi umat
Islam di Indonesia sebelum pembaharuan dilancarkan sudah sangat mundur.
Macam-macam syirik, takhayul, bid’ah, khurafat, sihir, dan azimat banyak
dipraktekan oleh umat Islam dengan sangat merajalela sekali. Mereka tidak
menyadari sama sekali apa yang dilakukan bertentangan dengan tauhid. Kondisi
ini pun terjadi di Minangkabau, Sumatra Barat, di mana asal mula berdirinya
Sumatra Thawalib.
Awal abad ke-19
Islam Minangkabau kemasukan pemikiran dan gerakan pembaharuan. Catatan klasik
menyebutkan adanya peran tiga orang haji dalam pembaharuan di Minangkabau.
Waktu itu, umat Islam Indonesia bukan hanya menunaikan rukun Islam yang ke
lima, tetapi juga untuk mendalami ilmu keislaman berbilang tahun.
Bagi umat Islam
Sumatra Barat, naik haji berarti juga melanjutkan pelajaran atau “mempertinggi
kaji” yang sudah mereka peroleh dari surau-surau di kampung halaman
masing-masing. Berbilang tahun mereka menimba ilmu Islam langsung dari
sumbernya secara mendalam. Mereka pun menjalin ukhuwah islamiah dengan umat islam
dari berbagai negara lain, saling tukar menukar pengalaman dan informasi serta
membicarakan kepentingan bersama. Oleh sebab itu, ketika mereka pulang ke
kampung halaman, mereka telah membekali diri dengan ilmu, kitab-kitab serta
pengetahuan tentang perkembangan dunia Islam pada umumnya.[4]
Tiga orang haji
yang dimaksud di atas adalah Haji Muhammad Arif, terkenal dengan Haji Sumanik
pulang ke Luhak Tanah Datar, Haji Abdurrahman atau Haji Piobang, pulang ke
Luhak Lima Puluh Kuto, dan Haji Miskin Pandai Sikek, pulang ke Luhak Agam.
Kepulangan mereka ini terjadi sekitar tahun 1802. Sedangkan kondisi Umat Islam
di Sumatra Barat mengalami kemunduran. Hal ini tergambar dari banyaknya orang
yang tidak lagi mengindahkan hukum-hukum Islam, harta pusaka banyak terjual
atau tergadai untuk berfoya-foya, menyambung ayam dan mengadu balam. Antara
suku dengan suku timbul permusuhan, antara nagari dengan nagari saling
bertengkar dan bertentangan hanya karena persoalan sambung ayam, atau pergaulan
muda-mudi yang memberi malu suku, atau masalah kecil lainnya yang menjadikan
masalah menjadi besar.[5]
Dalam hal agama,
para ulama, labai, tuangku, imam khatib dan datuk ibadat, berbondong-bondong
memasuki dunia tasawuf dan tarekat, karenanya masyarakat pun berduyun-duyun
pula mengikuti. Sebagian masuk Tarekat Satiriyah yang berpusat di Ulakan,
Pariaman, dan sebagiam masuk Tarekat Naksabandiyah di Cangking, Ampek Angkek.
Kedua golongan saling membanggakan keagungan dan kesucian masing-masing
tarekatnya. Akibatnya mereka saling bermusuhan, sesat menyesatkan dan antara
pengikut yang satu dengan pengikut tarekat yang lain tidak mau lagi saling
menegur.
Perbuatan-perbuatan
yang melanggar hukum Islam seperti berjudi, minum tuak, memperuntukan dan
mempelajari ilmu sihir, hubungan sumbang antara laki-laki dan perempuan, rampas
merampas harta pusaka sampai berbunuhan dan lain-lainnya semakin merajalela.
Tidak ada ulama yang berani turun tangan memperbaiki semua itu, karena mereka
tidak berwibawa lagi dan bahkan sekali mereka terlibat dalam kasus-kasus serupa
itu.
Tiga orang haji
tersebut ingin mengubah keadaan yang dianggap usah jauh menyeleweng jauh dari
Islam. Mereka sangat terpengaruh dengan paham dan gerakan Syekh Abdul Wahab
yang mereka saksikan sendiri. Mereka lancarkan satu gerakan untuk membersihkan
Islam dari segala yang menodainya. Mereka perbaiki semua keadaan dengan
tindakan-tindakan tegas.
Tiga orang haji
dan pengikutnya dikenal dengan kelompok Padri . Mereka melancarkan gerakan
pemurnian Islam dari segala yang menodainya. Akan tetapi, gerakan mereka
mendapat tantangan keras dari pihak pembela adat dan penganut tarekat sehingga
menimbulkan konflik dan peperangan terkenal dengan konflik adat dan agama dan
perang Padri .
Konflik adat dan
agama melibatkan kaum adat dibantu oleh golongan umat Islam penganut tarekat di
satu pihak, menghadapi tiga orang haji beserta pengikut-pengikut mereka di pihak
lain. Perang Padri terjadi antara kaum Padri – gelar yang diberikan kepada
pengikut-pengikut tiga orang haji tersebut, melawan pasukan Belanda yang
membantu kaum adat dan golongan Islam penganut tarekat.[6]
Inilah awal
pemikiran Islam modern untuk Sumatra Barat dan mungkin juga untuk Indonesia.
Burhanudin Daya menjelaskan bahwa sifat modern gerakan ini terlihat nyata pada
usaha mereka menyeru kembali kepada Al-Qur'an dan sunah, memurnikan Islam, dan
menentang dominasi kaum kafir atas umat Islam. Karena tipu daya dan kekuatan
pasukan Belanda yang kuat persenjataannya itu, pihak Padri di bawah pimpinan
Tuangku Imam Bojol (1773-1864) berhasil dikalahkan. Meskipun kaum Padri kalah,
akan tetapi semangat dalam memperjuangkan Islam dan tanah air tetap memberikan
inspirasi bagi generasi setelahnya.[7]
Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabaui (1852-1915) dianggap sebagai pelopor lanjutan dari
gerakan Paderi. Ahmad Khatib masih keturunan Tuangku Nan Tuo, seorang ulama
terkemuka serta imam pejuang kaum Padri . Beliau bermukim selamanya di Mekah,
tanpa pernah pulang karena pandangan anti adatnya yang keras dan tuntutannya
yang mutlak agar hukum waris adat diganti dengan hukum Islam di seluruh negeri.[8]
Ia berhasil
membina dirinya hingga menjadi seorang ulama terkemuka “guru besar” dan
imammadzhab Syafi’i di masjid Al-Haram, Mekah. Walau ia tidak pulang ke tanah
air, akan tetapi pengaruhnya begitu besar di tanah air. Syekh Ahmad Khatib
berhasil mendidik murid-muridnya menjadi pemuka-pemuka Islam kenamaan dan
pelopor-pelopor gerakan pemikiran Islam modern serta pejuang-pejuang nasional
di tanah air. Sederet nama murid-muridnya yaitu Tuangku Simbur, Muhammad Nur,
Syekh Hasan, Ma’sum, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy’ari
pendiri pesantren Tebuireng dan pemimpin terkemuka Nahdatul Ulama (NU), Syekh
Tahir Jalaluddin al-Azhari la-Falaqi, Haji Agus Salim. Sementara muridnya yang
berasal dari Sumatra Barat, yang mempelopori lahirnya gerakan pembaharuan Islam
dan Sumatra Thawalib adalah Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Muhammad Thaib
Umar, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrulllah, Syekh Daud Rasyidi,
Syekh Abas Padang Japang, Syekh Mustafa Paya Kumbuh, Syekh Ibrahim Musa
Parabek, Syekh Sutan Darap, dan lain-lain.
Pengaruh Syekh
Ahmad Khatib terhadap Sumatra Thawalib adalah pengaruh pemikiran pembaharuan di
Sumatra Barat. Di mana, Sumatra Thawalib adalah kelanjutan dari gerakan Paderi
untuk menyingkirkan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang
merusak kemurnian akidah, dan yang dapat membawa kebekuan Islam itu sendiri.
B.
Sejarah
Sumatra Thawalib
Sejarah Sumatra
Thawalib tidak bisa dipisahkan dari sejarah surau dan berbagai organisasi yang
berdiri di Minangkabau. Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum
datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau
kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu,
berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil balig
dan orang tua yang uzur.[9]
Setelah masuknya
Islam, fungsi surau semakin berkembang sebagai tempat pendidikan Islam, yang
dimulai dari pengajian Al-Qur'an, kajian tafsir, fiqih, nahu, saraf, rukun
islam, rukun iman, ibadat dan akhlak. Setiap surau ada tuangkunya, atau setiap
tuangku ada suraunya. Tuangku yang banyak ilmunya, banyak juga muridnya.[10]
Masing-masing tuangku ada kelebihannya, maka orang mengaji sering
berpindah-pindah dari satu surau ke surau lainnya. Hingga mereka merasa puas
dan merasa kajinya sudah tinggi maka ia mendirikan pengajian sendiri dan satu
waktu mereka pun menjadi tuangku dan memiliki suatau sendiri.
Beberapa surau
yang sangat penting artinya bagi Sumatra Thawalib adalah surau Batu Sangkar,
surau Sungai Batang Minanjau, Surau Parabek Bukittinggi, dan terutama surau
Jembatan Besi Padang Panjang. Semua surau ini dibina dan dikembangkan sejumlah
haji, murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui,
sepulang mereka dari belajar dan menunaikan ibadah haji di abad 20.
Awal mula
Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi adalah surau Parabek. Surau
Parabek didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa sepulang ia belajar dari Mekah pada
tahun 1908 M. Selama enam tahun ia membina surau dari pengajiannya ini,
suraunya mulai ramai didatangi orang untuk belajar dan namanya pun mulai
popular. Pada tahun 1914, ia pergi meninggalkan nagarinya untuk menunaikan
ibadah haji ke Mekah sekaligus memperdalam ilmu bersama istrinya, Syarifah, dan
anak sulungnya, Thaher Ibrahim. Surau Parabek tetap berjalan dan ia percayakan
kepada murid-muridnya. Dua tahun lamanya, ia berada di Mekah, akhirnya Syekh
Ibrahim Musa memutuskan untuk kembali ke nagarinya. Saat itu keadaan Mekah
memang dalam kacau balau akibat pertentangan antara Syarif Husain dan pusat
pemerintahan Islam di Turki.[11]
Sepulangnya
Syekh Ibrahim Musa ke Parabek, ia langsung melanjutkan pembinaan terhadap surau
dan pengajian yang didirikannya. Di suraunya, ia mengajarkan pengajian Al-Quran
dan pengajian kitab yang dilaksanakan dengan system halaqah. Halaqah merupakan
serig disebut dengan istilah “adu lutut´karena semua muridnya duduk bersila
di surau mengelilingi guru dan sering kali lutut mereka saling beradu satu sama
lainnya namun tetap seksama menyimak penjelasan gurunya. Semua pengajaran
berada langsung di bawah bimbingannya, dan bantuan beberapa guru bantu (Guru
Tuo).[12]
Adapun metode
pengajaran Al-Quran dan kitab di Surau Parabek serupa dengan metode yang ada di
surau-surau Minangkabau. Secara umum, pendidikan surau dibagi menjadi dua
tingkat. Tingkat awal adalah pengajian al-Quran. Pada pengajian Al-Quran,
terdapat empat pelajaran yang diberikan oleh Syaikh Ibrahim Musa, yakni[13]:
1.
Membaca
Al-Quran
2.
Ibadah
3.
Keimanan
4.
Akhlak
Tingkat kedua
adalah pengajian Kitab. Pada pengajian Kitab, terdapat tiga pelajaran yang
diberikan oleh Syaikh Ibrahim Musa, yakni[14]:
1.
Ilmu
Sharaf/Nahu (gramatika Bahasa Arab)
2.
Ilmu
Fiqhi
3.
Ilmu
Tafsir dan lain-lain.
Surau Parabek
semakin lama semakin ramai didatangi orang-orang dari berbagaidaerah untuk
mempelajari agama Islam. Mereka dating dari berbagai daerah di Sumatera bagian
Barat, Bengkulu, Riau, Jambi dan Palembang. Pada tahun 1919, murid-murid di
Surau PArabek mendirikan perkumpulan murid yang mereka beri nama Jami’ah
al-Ikhwan atau Tsamarah al-Ikhwan atau Muzakarah al-Ikhwan. Yang
terakhir, Muzakarah al-Ikhwan dirasa lebih kuat.[15]
Tujuan dibuatnya
organisasi adalah untuk mengadakan diskusi-diskusi ilmiah mengenal segala
persoalan yang berkaitan dengan agama Islam, untuk berlatih berdialog dan
berdebat, melatih kecepatan berfikir dan menambah ilmu pengetahuan hingga
melahirkan pemikir-pemikir baru.
Terpengaruh
dengan perkembangan yang terjadi di Surau Jembatan Besi Padang Panjang[16]
yang telah menyempurnakan namanya menjadi Sumatera Thawalib, Surau Parabek ini
mengubah nama Thuwailibnya menjadi Sumatera Thawalib. Penggunaan Sumatera
menunjukkan bahwa murid-murid yang tergabung dalam persatuan ini dan belajar di
Surau Parabek berasal dari berbagai daerah di Sumatera. Sementara menurut
Mahmud Yunus, nama Sumatera Thuwailib maksudnya adalah Thuwailib Sumatera,
Pelajar Kecil Sumatera.[17]
Surau Parabek
dan Surau Jembatan Besi memiliki kedekatan sejak mula didirikan. Beberapa
faktor yang menyebabkan kedekatan ini diantaranya adalah adanya cita-cita yang
sama, guru utamanya berasal dari satu perguruan dan bersahabat karib, dan
murid-murid di kedua surau tersebut saling berpindah untuk belajar. Berbagai
usaha dilakukan untuk menyatukan dua lembaga surau ini. Ketika murid-murid
semakin banyak dan persatuan murid dirasa semakin bermanfaat, sebuah ide muncul
untuk mendirikan satu organisasi sebagai bentuk sinergi konkrit antara kedua
surau. Ide ini dimunculkan untuk memberikan dukungan terhadap aktivitas kedua
surau agar semakin bermanfaat.
Setelah adanya
pertukaran pikiran antara pendiri Sumatera Thawalib Parabek dan Padang Panjang,
Syekh Ibrahim Musa dan Haji Rasul, akhirnya ada kesepakatan untuk membuat satu
organisasi bersama. Pertemuan ini dihadiri oleh wakil kedua organisasi, dua
guru utama mereka, Syekh Ibrahim Musa dan Haji Rasul, disertai juga oleh Syeikh
Jamil Jambek sendiri. Hasil pertemuan tersebut adalah didirikannya sebuah
organisasi bersama antara kedua surau, namun belum jelas wujudnya. Kelanjutan
pertemuan tersebut disambung dengan surat-menyurat antara Sumatera Thuwailib
Surau Padang Panjang dan Sumatera Thuwailib Parabek Bukittinggi. Akhirnya,
sebuah organisasi yang umum berdiri dengan meleburkan kedua organisasi Sumatera
Thuwailib Surau Padang Panjang dan Sumatera Thuwailib Parabek Bukittinggi
menjadi satu nama baru yaitu Sumatera Thawalib pada tanggal 15 Februari 1920.
Sumatera Thawalib
berdiri sebagai suatu organisasi tempat seluruh pelajar surau Jembatan Besi
Padang Panjang dan Surau Parabek Bukittinggi bersatu dan saling mendukung
aktivitas mereka yang sebelumnya dikerjakan di organisasi surau masing-masing.
Penggunaan nama Sumatera Thawalib kemudian menjadi nama sekolah bagi Surau
Parabek namun belum ada perubahan dari metode dan system pengajaran di surau
pada umumnya.
C.
Transformasi Surau Parabek Menjadi Lembaga Pendidikan
Islam Sumatra Thawalib Parabek Bukittinggi
Telah dijelaskan
di pembahasan sebelumnya wujud Sumatra Thawalib awalnya adalah organisasi
pelajar di surau-suarau Sumatra Barat. Seiring berjalannya waktu Sumatra
Thawalib berkembang menjadi sebuah perguruan.
Kehadiran
Sumatra Thawalib sebagai perguruan atau sekolah adalah untuk melancarkan
pendidikan dan pengajaran. Ada beberapa latar belakang yang membuat Sumatra
Thawalib berubah dari organisasi menjadi lembaga pendidikan yaitu: pertama,
pengaruh misi kristen yang membangun gereja dan sekolah-sekolah zending di
seluruh Nusantara, termasuk daerah tetangga Sumatra Barat, yaitu Tapanuli.
Begitu juga adanya misionaris yang keluar masuk kota dan desa dengan membagikan
Injil-injil, surat kabar, dan majalah kepada masyarakat.[18]
Kedua, sebagai pengaruh dari perkembangan lembaga pendidikan umum dan
sekolah yang dibuat oleh pemerintah Belanda, seperti Inlandsche Lagere
School (Sekolah Rendah Pribumi), Hollandsche Inlandsche School, Kweekschool
Noor Inlandsche Onderwijzers, Hollandsche Chineesche School, Hoogere Burger
School (HBS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene
Middlebare School (AMS), dan lain-lain.
Hal itulah yang
mendorong Sumatra Thawalib untuk menyusun salah satu programnya yang lebih
jelas dan terarah dalam bidang pendidikan, yaitu mengubah berbagai pengajian
surau di daerah-daerah yang strategis menjadi sekolah-sekolah Islam.[19]
Perubahan surau
menjadi sekolah berkelas di awali surau Jembatan Besi Padang Panjang di bawah
pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah. Sekolah yang didirikannya bernamakan
Sumatra Thawalib atau Perguruan Thawalib Padang Panjang. Ini terjadi pada tahun
1911. Sistem pengajarannya yaitu sistem halaqah, di mana murid-murid dan
guru sama-sama duduk di lantai membentuk lingkaran. Tahun 1918 terjadi
pembaharuan, murid-murid dibagi sesuai umur dan tingkatan pendidikannya menjadi
tujuh kelas. Tingkatan permulaan, murid-murid diajar oleh guru-guru bantu,
termasuk Zainudin Labai, buku-buku yang diajarkan pun terbatas pada buku-buku
yang dikarang Zainudin Labai eL-Yunusi sendiri atau yang ditulis oleh guru-guru
lainnya. Pada tingkatan tertinggi diajarkan oleh kitab-kitab dari Mesir di
bawah asuhan Haji Rosul. Tahun 1920, Haji Rasul menukar berbagai kitab yang
selama ini dipakai dengan kitab-kitab baru, di antarannya Bidayat
la-Mujtahid, Ushul la-Ma’mul, Al-Muhazzab, dan lain-lain.
Tokoh lain yang
berperan dalam kemajuan Sumatra Thawalib adalah Haji Jalaluddin Thaib. Dialah
orang yang menerapkan sistem berkelas yang sempurna, memakai bangku dan meja
murid, kurikulum diatur dengan baik dan disempurnakan, organisasi dan
administrasi sekolah mulai disusun, uang sekolah mulai dipungut dari
murid-murid, dan tamatannya diberi ijazah. Ia juga berhasil mendirikan Sumatra
Thawalib di Tapak Tuan, Aceh. serta, ia juga menjadi ketua umum persatuan
seluruh Sumatra Thawalib di Sumatra.
Nama lainnya
yang penting dicatat sebagai orang yang berpengaruh yaitu Engku Mudo Abdul
Hamid Hakim. Ia mendampingi (sebagai asisten) Haji Rasul untuk memajukan
Perguruan Sumatra Thawalib Padang Panjang. Berkat kecerdasan dan ketekunannya
mempelajari Islam, Engku Mudo tampil sebagai ulama yang saleh dan warak. Mulai
tahun 1922, ia menjadi pemimpin Sumatra Thawalib Padang Panjang karena Haji
Rasul mengundurkan diri.
Sumatra Thawalib
Padang Panjang merupakan pelopor perguruan Islam di wilayah Sumatra. Di mana,
dari sanalah para murid yang dari datang dari berbagai daerah ditempa, dibina
dan dimandirikan. Hasil didikannya disebar ke segala pelosok tanah air berupa
guru-guru, ulama-ulama, dan mubalig-mubaligh yang semuanya mampu mendirikan
Sumatra tahawalib di mana saja mereka berada. Mereka sekaligus mengtuai Sumatra
Thawalib, menjadi pemimpin perguruannya, dan menjadi gurunya sekalian.
Selanjutnya
Madrasah Thawalib Parabek merupakan perguruan Sumatra Thawalib
kedua yang didirikan setelah Padang Panjang dengan tokoh pendirinya Ibrahim
Musa Parabek. Pengabdian Ibrahim Musa kepada perguruannya ini tidak terputus
sampai akhir hayatnya pada 25 Juli 1963. Sebagai ulama besar, pejuang tiga
zaman (zaman kolonial Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman merdeka)
beliau telah membawa perubahan baru di Minangkabau yang sangat penting artinya
bagi sejarah pergerakan pendidikan Islam di Indonesia melalaui Sumatra
Thawalibnya.
Perubahan surau
Parabek menjadi Madrasah Sumatera Thawalib Parabek memiliki visi dan misi yang
tertuang dalam Anggaran Dasar Sumatera Thawalib pasal 2 an 3 sebagai berikut[20]:
“Fasal 2
Maksoed perkoempoelan ini ialah:
Mengoesahkan dan memajoekan matjam-matjam pengetahoen dan pekerdjaan yang
membawa kepada kebaikan dan kemadjoean doenia dan akhirat menoeroet kedendak
agama Islam
Fasal 3
Akan menyampaikan maksoed-maksoed itoe,
perkoempoelan ini berusaha sekoeat-koeatnja:
a.
Mendirikan dan
mengatoer ataoe memberi bantoean sekolah-sekolah yang memberi pengadjaran Agama
Islam; serta mengoesahakan soepaja fakpeladjaran ditjoekoepkan djoega dengan
peladjaran-peladjaran yang bergoena oentoek keselamatan hidoep.
b.
Menerbitkan dan
membantoe terbitnya boekoe-boekoe yang berguna oentoek peladjaran
sekoalh-sekolah itoe.
c.
Membangoenkan
dan menerbakan benih pengetahoean Agama Islam oentoek menghidoepkan roh dan
semangat Islam dengan roepa-roepa oesaha.”
Berdasarkan misi
yang disebutkan di atas, perubahan yang terjadi difokuskan pada pendidikan.
Surau Parabek semakin lama semakin ramai dikunjungi calon-calon murid untuk
belajar. Masjid yang biasa dijadikan tempat belajar dirasa tidak lagi sanggup
untuk menampung murid-murid dengan system halaqah. Atas inisiatif Syekh
Ibrahim Musa, akhirnya dibangunlah ruang kelas di sebelah selatan Mesjid
Parabek. seiring dengan berjalannya pembangunan kelas dan perubahan nama
menjadi Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, metode dan system pengajaran di
Surau Parabek berubah menjadi system klasikal. Jika pada system halaqah murid-murid
yang belajar disamakan materi pembelajarannya dan tidak dibatasi lama
belajarnya, maka pada system klasikal murid-murid dibagi ke dalam
tingkatan-tingkatan sesuai dengan tingkat pemahaman ilmunya. Jika sebelumnya
murid-murid belajar di surau dengan duduk bersila beradu lutut mengelilingi
guru, maka dengan system klasikal, murid-murid duduk di dalam kelas-kelas
seperti system pendidikan modern seperti saat ini. Batas pendidikan kemudian
diatur. Perubahan ini terjadi dimulai secara resmi pada tanggal 21 September
1921. Dengan transformasi dari system halaqah ke system klasikal, waktu
belajar di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi dibatasi manjadi 7
tingkat. [21]
Dengan perubahan
system dari halaqah menjadi klasikal, metode dan kurikulum pun berubah.
Eskipun metode pengajaran tetap berada di bawah pengawasan Syekh Ibrahim Musa,
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dibantu oleh majelis guru. Bebrapa nama yang
pernah menjadi anggota majelis guru Madrasah Sumatera Thawalib Parabek di
antaranya: Ali Imran Jamil, Amir Hamzah, Hayat Pulau Tello, Labai Sain
al-Makki, A. Gafar Ismail, Saleh Barallah, Ilyas Payakumbuh, H. Salim dan
lain-lain.[22]
Kurikulum surau
disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan yang telah dibagi dari kelas I hingga
kelas VII. Meskipun tingkat kelas dibagi menjadi tujuh, tetapi lama belajar
yang ditempuh di Sumatera Thawalib Parabek adalah 8 tahun. Hal ini dakarenakan
pembagian tingkat VI menjadi dua tahun, yaitu VI-A dan VI-B. murid-murid yang
lulus tingkat VI-A tidak langsung naik ke tingkat VII, tetapi terlebih dulu
memperdalam ilmu-ilmu yang di tingkat VI-B. baru setelah lulus ujian di tingkat
VI-B, murid-murid tersebut belajar di tingkat VII.
Tidak hanya ilmu
alat dan ilmu agama Islam yang dipelajari murid-murid Madrasah Sumatera
Thawalib Parabek, tapi ilmu umum kemudian dimasukkan ke dalam kurikulum. Ini
menjadi perubahan yang nyata terlihat dari transformasi Surau Parabek. ilmu
umum dalam kurikulum madrasah yang baru adalah ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu
bumi, bahasa Belanda, Bahasa Inggris dan beberapa Perancis.[23]
Dorongan untuk
mengubah sistem
halaqah menjadi sistem
klasikal bisa di sebabkan dari dalam dan
dari luar Sumatera Thawalib itu sendiri. Untuk itu penulis membagi faktor
penyebab transformasi Surau Parabek dari sistem halaqah menjadi sistem
klasikal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor
internal yang mempengaruhi perubahan dari sistem halaqah ke sistem
klasikal salah satunya sosok sentral surau Parabek yaitu Syekh Ibrahim Musa
adalah sosok kharismatik, cerdas dan rendah hati. Gagasan dan pandangannya
disampaikan dengan tutur kata yang halus dan lembut.
Pengajian
yang ia selenggarakan sejak pertama kali ia tiba dari Mekah mulai diterima
masyarakat karena melihat kepribadiannya yang baik. Sebuah pepatah Minang
dengan tepat menggambarkan hasil kerja keras Syekh Ibrahim Musa yaitu tali
halus buaian lanyuang, maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukan dengan
hati-hati tapi pasti akan mendapat sambutan baik masyarakat.[24]
Sosoknya
menjadi daya tarik yang membawa Surau Parabek menjadi terkenal sehingga
berdatangan orang-orang dari berbagai daerah untuk menjadi muridnya. Semakin
banyak murid-murid dirasakan Syekh Ibrahim Musa tidak lagi efektifnya sistem halaqah
yang ia gunakan di suraunya selama ini. Sebuah ijtihad yang
mendorongnya untuk berfikir bagaimana dapat terus membagi ilmunya dengan
murid-muridnya yang semakin banyak dan membuat suraunya agar dapat eksis di
tengah perkembangan sekolah-sekolah modern yang terjadi saat itu.
Hasil
pemikiran modernnya dan keinginannya untuk melepaskan diri dari tradisi yang
lama mengurung masyarakat Parabek dan mencapai cita-citanya untuk melahirkan
generasi yang tafaqquh fi al-Din[25]
membawanya pada keputusan ijtihad-nya untuk mengubah sistem halaqah ke sistem klasikal. Perubahan-perubahan yag mengikuti selanjutnya
merupakan adalah hasil semangat dan kegigihan Syekh Ibrahim Musa untuk
menyebarkan pemikiran dan cita-citanya ke masyarakat luas. Hal ini adalah
proses alamiah yang dialami setiap organisasi pembaruan Islam di Indonesia.
Perubahan sistem yang terjadi
memberi banyak perbaikan dalam berbagai aspek, seperti kurikulum, metode
pengajaran, hingga sarana dan prasarana di surau yang melengkapinya menjadi
sebuah perguruan. Usaha untuk mengubah
sistem ini merupakan cerminan prinsip yang dipegang oleh pendirinya Syekh
Ibrahim Musa: :muhaafazatu ‘alaa qadiimi al-shalih wa al-aqdu bi jadiidi
al-ahdhoh” yang artinya ”memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang
baru yang lebih baik”. Penggunaan kitab-kitab bermazhab Syafi’i dalam pelajaran
fikih dan kitab karangan Imam Asy’ari dalam pelajaran tauhid menunjukkan
kesamaan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di Indonesia, sperti
pondok pesantren di Jawa.
Faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan dari
sistem halaqah ke klasikal adalah munculnya sekolah-sekolah modern di Sumatera Tengah,
baik yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda maupun yang didirikan oleh
pihak pribumi.
Perubahan sistem halaqah menjadi klasikal didorong oleh munculnya misionaris
Kristen yang mendirikan sekolah katholik berbentuk sekolah modern dan pembagian
injil kepada masyarakat serta penyebaran artikel-artikel kaum misionaris yang
berisi propaganda Kristiani. Sekolah-sekolah modern Hindia Belanda menggunakan
bahasa Belanda, kecuali sekolah rendah pribumi yang masih menggunakan bahasa
Melayu sebagai pengantar. Fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Hindia
Belanda sangat terbatas.
Pada seluruh sekolah modern prakarsa pemerintah
Hindia Belanda sama sekali tidak diajarkan pelajaran agama. Sistem dan metode
yang digunakan seperti sekolah-sekolah di Belanda, sistem pendidikan Barat,
yang mendapat pengaruh mengenai kesukuan dari budaya Jerman, individualisme
dari Yunani-Romawi, dan agama dari Yahudi-Kristen. Pemikiran-pemikiran yang
diajarkan didasarkan pada rasionalisme dan liberalisme. Hal ini mengesampingkan
kehadiran agama Islam bagi masyarakat Minangkabau, sehingga cendekiawan lulusan
sekolah Hindia Belanda menjauhkan dari dari ulama. Mereka hidup dan dibesarkan
dalam lingkungan adat dan agama Islam, tetapi pemikiran dan perilakunya meniru
Barat, sehingga mereka disebut sebagai kelompok the marginal men, belut bukan ikan pun bukan dalam masyarakat
mereka sendiri, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar.
Sekolah modern yang mempengaruhi transformasi Surau
Parabek tidak hanya sekolah modern prakarsa Hindi Belanda, tetapi juga sekolah
modern yang diprakarsai pribumi, beberapa di antaranya merupakan lembaga
pendidikan Islam. Diawali dengan didirikannya sekolah agama untuk Indonesia di
Padang Panjang, bernama Adabiah School (Sekolah Adabiah) pada tahun 1907 oleh Abdullah
Ahmad. Sekolah ini telah menggunakan sistem klasikal, kegiatan belajar mengajar
dilaksanakan di dalam kelas menggunakan bangku dan meja, papan tulis, serta
buku-buku dengan murid awal berjumlah 20 orang.[26]
Kurikulum yang digunakan serupa dengan yang terdapat di surau-surau, yakni
pelajaran-pelajaran Agama Islam dilengkapi dengan ilmu baca, ilmu tulis dan
ilmu hitung. Karena Abdullah Ahmad menghadapi kesulitan untuk mengembangkan
sekolah ini, ia menutup Sekolah Adabiah pada tahun 1909. Kemudian ia mendirikan
Sekolah Adabiah keduanya di Padang, sebuah sekolah umum ditambah dengan
pelajaran agama. Abdullah Ahmad bertujuan untuk membantuk manusia yang cerdas,
berkebangsaan dan bertaqwa kepada Allah SWT dengan mendirikan sekolah ini.
Peninjauannya ke Madrasah Al-Iqbal Al-Islamiah (1908) di Singapura yang
didirikan oleh Utsman Efendi Rafat yang berasal dari Mesir, memberikannya
inspirasi terhadap rencana pelajaran di Sekolah Adabiah. Diskusi Abdullah Ahmad
dang Syekh Thaher Jalaluddin Al-Azhari[27]
juga memberinya pengarahan terhadap corak pendidikan Islam yang seharusnya di
Sekolah Adabiah, yakni menurut pada acuan yang ada di Mesir.
Pada tahun 1915, Zainuddin Labai Al-Yunusi
mendirikan Diniah School masih diselenggarakan di surau atau mesjid, tetapi menggunakan sistem
dan metode pendidikan umum yang berkelas, berbangku dan meja, berpapan tulis
dan berbuku. Sekolah ini dibagi menjadi dua tingkat: yakni tingkat dasar dan
menengah atau ibtidaiyah dan tsanawiyah. Lama belajar kedua tigkat itu masing-masing tiga
dan empat tahun. [28]
Sosok Syekh Ibrahim Musa dengan pemikirannya yang
moderat dan hubungan-hubungan baiknya dengan penggiat pendidikan baik Islam dan
umum di Sumatera Tengah menghasilkan sebuah ijtihad-nya adalah faktor internal yang mengubah Surau
Parabek menjadi sekolah, sebuah madrasah. Kemunculan sekolah-sekolah modern di
Sumatera Tengah pun menjadi pemicu eksternal Surau Parabek berubah menjadi
madrasah dengan sistem kelas. Pengadopsian sebagian sistem dan kurikulum dengan
sekolah modern namun tetap mempertahankan misi penyiaran Islam tetap
dipertahankan demi dapat bersaing menghadapi tantangan zaman dan menghasilkan
lulusan-lulusan yang bersaing dengan lulusan-lulusan pendidikan umum.
Kemunculan sekolah-sekolah agama modern yang secara
langsung maupun tidak langsung mempunyai kaitan dengan surau. Namun disadari
pula bahwa kemunculan sekolah-sekolah tersebut tidak dapat pula dipisahkan dari
rangkaian perjalanan panjang pembaharuan (terlepas dari istilah istilah yang
digunakan para pakar, seperti: modernisasi, reformasi, purifikasi,
westernisasi, revolusi, dsb., pen.) Islam di Nusantara, khususnya di
Minangkabau. Dengan demikian terbentuklah simpul-simpul yang saling mengikat
dalam merumuskan faktor faktor yang mempengaruhi upaya modernisasi surau
menjadi lembaga pendidikan Islam yang modern terutama dalam kurun waktu
penghujung abad ke 19 sampai dua dasawarsa awal abad ke-20.
Adapun menurut Azyumardi Azra faktor internal
lainnya adalah sebagai berikut[29]
:
1.
Kemerosotan lembaga surau sejak pasca perang
Padri hingga menjelang abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa fenomena,
seperti :
a. Tekanan kolonial Belanda
terhadap lembaga surau yang sebelumnya merupakan basis gerakan Padri, seperti
larangan berkumpul, melakukan kegiatan keagamaan dan sebagainya.
b. Banyaknya ulama yang tewas
dalam perang Padri, sehingga banyak pula surau yang terlantar karena ketiadaan
syekh ataupun guru tuanya.
c. Semakin kuatnya dominasi
kelompok adat, sebagai lawan kaum Padri, yang mendapat dukungan dan menjadi
kaki tangan pemerintah kolonial Belanda.
d. Terjadinya pergeseran sistem
kekeluargaan secara evolutif, dari konsep multi generalitional family yang
lebih bersifat sosial kepada konsep keluarga batih (nuclear family) yang cenderung individualistik.
2.
Semakin banyak kaum muslimin yang melakukan
perjalanan ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu di
sana. Setelah mereka kembali, mereka berusaha untuk menyelenggarakan pendidikan
keagamaan sebagaimana telah mereka pelajari dari tanah suci.
3.
Lahirnya semangat nasionalisme dan patriotisme
dari umat Islam sebagai akibat kolonialisasi Belanda, khususnya dalam bidang
pendidikan.
4.
Rasa tidak puas dengan institusi (tradisional)
selama ini dalam mempelajari agama, sehingga melahirkan berbagai usaha untuk
memperbaiki lembaga umat Islam, baik dari segi metode maupun isinya, dan
mengusahakan kemungkinan memasukkan pendidikan umum ke dalam lembaga yang baru.
Sedangkan faktor eksternal menurut Zuhairini yang
mempengaruhinya meliputi[30]
:
1.
Pemikiran modern dalam Islam yang dipelopori
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui “mahasiswa” muslim yang
belajar di tanah suci.
2.
Anggapan perlunya organisasi untuk mempercepat
tercapainya tujuan dan sebagai upaya untuk mengkonsolidasi kekuatan.
3.
Pengaruh sistem pendidikan Barat yang
terkoordinasi dan sistematis, apalagi sejak terbukanya politik etis yang
terealisasi lewat pembangunan sekolah-sekolah umum sekuler yang berorientasi
kerja. Tentu saja hal ini banyak menarik perhatian masyarakat, sehingga sekolah
agama dinomorduakan atau tidak lagi menjadi suatu yang dipentingkan.
Sumatra
Thawalib, sebagai perguruan telah banyak membuahkan hasil. Pertama, sebagai
pelopor yang mengubah sistem pengajian surau menjadi sekolah agama. Kedua, berhasil
memasukan mata pelajaran umum ke dalam sekolah agama. Ketiga, murid-murid
dan lulusannya semua berjiwa revolusioner, mempunyai kebebasan berpikir, bebas
berjalan sendiri asal tidak menyimpang dari Al-Qur'an dan sunah. Keempat, banyak
menghasilkan murid yang lebih pandai daripada guru. Kelima, dalam kelas
dan ruangan-ruangan diskusi, murid-murid selalu menghidupkan suasana
bantah-membantah, muzakarah, munadzarah,. Mereka selalu mendiskusikan kenapa
kaum muslimin mundur, sedang umat beragama lain maju, mereka berani mengorek-ngorek
Al-Qur'an dan sunah, mau menerima kalau ada dasar Al-Qur'an dan sunah. Keenam,
mereka tidak terikat terhadap mazhab fikih. Mereka mempelajari mazhab yang
empat, tetapi mengamalkan yang sesuai dengan Al-Qur'an dan hadis. Ketujuh, membuka
mata umat Islam Sumatra terhadap buku-buku atau kitab-kitab hasil karya
ulama-ulama Islam modern. Kedelapan, menyegerakan kemajuan dan
perubahan, dengan mendirikan berbagai organisasi, penerbitan buku, majalah dan
surat kabar. Kesembilan, menanamkan kesadaran berbangsa dan berpolitik
dalam masyarakat. Kesepuluh, mereka berpikiran maju. Semua penjelasan di
atas disamapaikan oleh Ma’rifat Marjani, pelajar Thawalib yang diwawancara oleh
Burhanuddin Daya dan dicantumkan dalam bukunya Gerakan Pembaharuan Pemikiran
Islam.[31].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam perjalanan
sejarahnya, Sumatra Thawalib tidak bisa dilepaskan dari gerakan kaum Padri yang
lebih dulu muncul di Sumatra Barat. Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui
merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam pemikiran pembaharuan yang
dilancarkan oleh guru-guru Thawalib yang itu semuanya ditularkan kepada
pelajar-pelajar Thawalib, sehingga menciptakan gebrakan besar dalam pemikiran
pembaharuan islam.
Sumatra Thawalib secara
umum adalah sebuah organisasi yang didirikan sebelum kemerdekaan Indonesia.
Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi secara khusus adalah sebuah lembaga
pendidikan Islam yang berada di Sumatera Barat. Awalnya, Sumatera Thawalib
Parabek Bukittinggi berbentuk surau, sebuah lembaga pendidikan Islam awal khas
Minangkabau bernama Surau Parabek yang didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa.
Perubahan terjadi di Surau Parabek dari penggunaan system halaqah menjadi
system klasikal. Perubahan ini memiliki lebih banyak nilai positif dibandingkan
nilai negatif.
Perubahan surau Parabek
menjadi Madrasah Sumatera Thawalib Parabek memiliki visi dan misi yang tertuang
dalam Anggaran Dasar Sumatera Thawalib pasal 2 an 3. Berdasarkan misi tersebut, perubahan yang
terjadi difokuskan pada pendidikan. Surau Parabek semakin lama semakin ramai
dikunjungi calon-calon murid untuk belajar. Masjid yang biasa dijadikan tempat
belajar dirasa tidak lagi sanggup untuk menampung murid-murid dengan system
halaqah. Atas inisiatif Syekh Ibrahim Musa, akhirnya dibangunlah ruang kelas di
sebelah selatan Mesjid Parabek. Seiring
dengan berjalannya pembangunan kelas dan perubahan nama menjadi Madrasah
Sumatera Thawalib Parabek, metode dan syitem
pengajaran di Surau Parabek berubah menjadi system klasikal. Perubahan ini terjadi
dimulai secara resmi pada tanggal 21 September 1921. Dengan transformasi dari
system halaqah ke system klasikal, waktu belajar di Madrasah Sumatera Thawalib
Parabek Bukittinggi dibatasi manjadi 7 tingkat.
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, Subhan. 2010.
Syekh Ibrahim Musa: Inspirator Kebangkitan. Jakarta: NHF Publishing.
Daya, Burhanuddin. 1995. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus
Sumatra Thawalib (Cet. Ke-2). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Hamka. 1982. Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim
Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra. Jakarta: Umminda.
Hamka. 1996. Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Mansoer, M.D.
1970.
Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara.
Nata, Abudin. 2010. Sejarah Pendidikan Islam: Pada
Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam:
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
sampai Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Cet. Ke-8). Jakarta: LP3ES.
Rahardjo, M. Dawam. 1985.
Pergulatan Dunia Pesantren. Jakarta: P3M.
Yunus,
Mahmud. 1992. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Zuhairini. 1995. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
[1] M.D. Mansoer, Sedjarah
Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970), hal. 43.
[2] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992), hal.
22.
[3] Subhan Afifi, Syekh
Ibrahim Musa: Inspirator Kebangkitan, (Jakarta: NHF Publishing, 2010), hal.
9.
[4] Deliar Noer, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Cet.
Ke-8), (Jakarta:
LP3ES, 1996),
hal.
31
[5] Hamka, Ayahku:
Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra,
(Jakarta:
Umminda, 1982),
hal.
14
[6] Burhanuddin Daya, Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib (Cet. Ke-2), (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1995), hal. 8-9.
[9] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008),
hal.
280.
[13] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992), hal. 33-41.
[16] Surau Jembatan Besi
Padang Panjang lebih dulu didirikan jika dibandingkan dengan Surau Parabek
Bukittinggi. Dua tokoh sentral dalam pengembangan Surau Jembatan Besi adalah
Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul. Keduanya pernah belajar kepada Syekh Khatib
al-Minangkabau di Mekah, guru yang sama dengan Syekh Ibrahim Musa. Lihat Deliar
Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES),
hal. 52.
[24] Abudin Nata,
Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan., (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 45.
[25] Tafaqquh fi
al-Din (memperdalam ilmu agama) yang menjadi cita-cita Syekh
Ibrahim Musa sejalan dengan anjuran Al-Quran dalam surat at-Taubah, (9) ayat
122 yang menyatakan: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya,
supaya mereka menjaga diri.
[27] Syekh
Thaher Jalaluddin Al-Azhari (1869-1965) adalah putra Minangkabau, saudara
sepupu Ahmad Khatib al-Minangkabauwi yang memiliki pengaruh bagi tokoh-tokoh
pembaruan Islam di Sumatera Barat. Ia ikut membantu mendirikan Madrasah
Al-Iqbal Al-Islamiah dan menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura. Ia sendiri
merasa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Rosyid Ridha
selama belajar di Mekah dan Mesir. Lihat Burhanuddin Daya, op.cit., hal.
12.
[29] Azyumardi
Azra, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren Dalam Perspektif Masyarakat
Minangkabau”, dalam M. Dawam Raharjo, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren,
Membangun Dart Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hal. 163-165.
[30] Zuhairini (et.al.),
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. ke-4, hal.
157.
Comments
Post a Comment