PEMBARAUAN PROSES PENDIDIKAN ISLAM DI SUMATERA, Abdul Badie
MAKALAH
PEMBARAUAN PROSES
PENDIDIKAN ISLAM
DI
SUMATERA
Dosen
Pengampu;
Dr. H. Anung Al Hamat, Lc, M.Pd.I
Dr.
H. Ulil Syafri, Lc, MA
Disusun
Oleh ;
Abdul
Badie Hidayatul Insani
NIM
: 182101011984
PROGRAM
PASCASARJANA PENDIDIKAN
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
IBN KHALDUN
BOGOR
JAWA BARAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan sejarah
pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa mengesampingkan keadaan Islam pada
masa kerajaan Islam.Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari
segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah,
terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat
lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia
abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke
Indonesia pada abad ke-7 M. Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah
menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah
Aceh kemudian mulai disebarluaskan di daerah lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendidikan islam di Sumatera?
2.
Bagaimana metode pembelajaran dan perkembangan pendidikan islam di
Sumatera?
3. Bagaimana pendidikan islam pada masa
kerajaan di sumtera?
4. Siapa-siapa sajakah yang mengembangkan
penidikan islam di Sumatera?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pendidikan islam di Sumatera
2.
Mengetahui proses pembelajaran dan perkembangan pendidikan islam di
Sumatera
3. Mengetahui pendidikan islam pada masa
kerajaan di sumtera
4. Mengetahui siapa-siapa sajakah yang
mengembangkan penidikan islam di Sumatera
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHARUAN PROSES PENDIDIKAN ISLAM
DI SUMATERA
A.
SEJARAH ISLAM DI SUMATERA
1. Sejarah Islam di Aceh
Masa
kerajaan Islam merupakan salah satu dari periodesasi perjalanan sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini karena lahirnya kerajaan Islam yang
disertai berbagai kebijakan dari penguasanya saat itu sangat mewarnai sejarah
Islam di Indonesia. Terlebih-lebih, agama Islam juga pernah dijadikan sebagai
agama resmi negara kerajaan pada saat itu.
Perjalanan
sejarah pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa mengesampingkan keadaan Islam
pada masa kerajaan Islam ini. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa kerajaan
Islam di Indonesia.[1]
2.
Kerajaan Islam di Aceh
a) Kerajaan Samudera Pasai
Para
ahli sependapat bahwa agama Islam sudah masuk ke indonesia (khususnya Sumatera)
sejak abad ke-7 atau 8 M. Meskipun Islam sudah masuk pada abad ke-7 atau 8 M
tersebut, ternyata dalam perkembangaannya mengalami proses yang cukup lama,
baru bisa mendirikan sebuah kerajaan Islam.[2]
Kerajaan
ini berdiri pada abad ke-10 M/ 3 H. Raja pertamanya adalah Al-Malik Ibrahim bin
Mahdum, yang kedua bernama Al-Malik al Shaleh dan yang terakhir bernama
Al-Malik Sabar Syah.
Seorang pengembara dari Maroko yang
bernama Ibnu Batutah pada tahun 1345 M singgah di Kerajaan Pasai pada zaman
pemerintahan Malik Az-Zhahir pada perjalanannya ke Cina. Ibnu Batutah
mengemukakan bahwa sistem pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai,
yaitu:
· Materi pendidikan dan pengajaran agama
bidang syari’at ialah fiqih mazhab syafi’i
· Sistem pendidikannya secara informal
berupa majelis taklim dan halaqah
· Tokoh pemerintahan merangkap sebagai
tokoh agama
· Biaya pendidikan agama bersumber dari
negara[3]
b) Kerajaan Periak
Kerajaan
Perlak merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia. Sultan Mahdum
Alauddin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M tercatat
sebagai Sultan keenam.
Di Perlak terdapat suatu lembaga
pendidikan lainnya berupa majelis taklim tinggi, yang dihadiri khusus oleh para
murid yang alim dan mendalam ilmunya. Pada majelis taklim ini diajarkan
kitab-kitab agama yang berbobot dan pengetahuan tinggi, seperti kitab Al-Um
karangan Imam Syafi’i. Dengan demikian, pada Kerajaan Perlak ini proses pendidikan
islam telah berjalan dengan baik.[4]
c) Kerajaan Aceh Darussalam (1511-1874)
Kerajaan
Aceh Darussalam yang diproklamasikan pada tanggal 12 Zulkaedah 916 H (1511 M)
menyatakan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu. Hal ini merupakan tempaan
sejak berabad-abad yang lalu, yang berlandaskan pendidikan Islam dan Ilmu
Pengetahuan.
Proklamasi Kerajaan Aceh Darussalam
tersebut merupakan hasil peleburan Kerajaan Islam Aceh di belahan Timur. Putra
Sultan Abidin Syamsy Syah diangkat menjadi raja dengan gelar Sultan Alauddin
Ali Mughayat Syah (1507-1522).
Aceh pada saat itu merupakan
sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjananya yang terkenal di dalam dan di
luar negeri sehingga banyak orang luar yang datang ke Aceh Darussalam untuk
menuntut ilmu. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas
dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, diantaranya Balai Seutia Hukuma,
Balai Seutia Ulama, Balai Jamaah Himpunan Ulama.[5]
Adapun
jenjang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut:
Meunasah
(Madrasah), terdapat di setiap kampung berfungsi sebagai sekolah dasar. Materi
yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, ilmu agama, akhlak dan
sejarah Islam.
Rangkang,
meruapakan masjid sebagai tempat berbagai aktiviitas umat termasuk pendidikan.
Materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, akhlak,
fiqih dan lain-lain.
Dayah,
terdapat disetiap ulebalang dan terkadang berpusat di masjid. Materi yang
diajarkan yaitu fiqih, bahasa arab, tauhid, tasawuf/ akhlak, ilmu bumi,
sejarah.
Dayah
Teuku Cik, Materi yang diajarkan yaitu fiqih, tafsir, hadis, tauhid, akhlak
tasawuf, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, ilmu
falaq dan filsafat.[6]
d).Kerajaan Siak
Sultan pertamanya adalah Abdul
Jalil Rahmad Syah yang memerintah sebagai Sultan Siak I (1723-1746 M). Pada
masa kerajaan Siak II di bawah kekuasaan Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzafar
Syah (1746-1765 M) adalah zaman panji-panji Islam berkibar di Siak. Islam
diperkirakan masuk ke Siak pada abad ke-12 M.
Demikianlah diantara
kerajaan-kerajaan yang berada di Sumatera yang berasaskan Islam, perlu
ditekankan bahwa semua kerajaan tersebut telah mendukung penyiaran pendidikan
Islam, baik di Sumatera maupun di luar daerah Sumatera.
B. SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI
SUMATERA
1. PENDIDIKAN ISLAM DI MINANGKABAU
Menurut
sebagian ahli sejarah, Islam masuk ke Minangkabau kira-kira tahun 1250 M. Ulama
yang termasyhur sampai sekarang sebagai pembawa Islam ke Minangkabau adalah
Syekh Burhanuddin yang dilahirkan di Sintuk Pariaman tahun 1066 H/ 1646 M dan
wafat tahun 1111 H/ 1691 M. Dia mengajarkan agama Islam dan membuka madrasah
(surau) tempat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Menurut Prof. H. Mahmud
Yunus, Syekh inilah yang pertama kali mendirikan madrasah untuk menyiarkan
pendidikan dan pengajaran Islam di Minangkabau dengan sistem yang lebih teratur
sesuai dengan sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang digunakan gurunya,
Syekh Abdul Rauf di Aceh.[7]
Agama
Islam masuk ke Minangkabau melalui dua arah, yaitu:
1. Dari Malaka, melalui Sungai Siak dan Sungai
Kampar lalu ke pusat Minangkabau.
2. Dari Aceh, melalui pesisir barat.
Dengan
tersebarnya Islam di Minangkabau, adat setempat yang berlawanan dengan syara
mulai ditinggalkan. Peraturan-peraturan yang berlaku dalam negeri dinamai Hukum
Adat. Dan peraturan-peraturan secara Islam dinamai Hukum Syara’ sehingga
terkenal pepatah, “Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi kitabullah”. Pada
setiap desa, diangkat seseorang sebagai tempat bertanya tentang hukum adat yang
dinamai “Cermin yang tiada kabur, pelita yang tiada paham”. Adapun yang
menetapkan hukum syara’ adalah Suluh nan terang. Di Minangkabau terkenal empat
sebutan orang, yaitu: Penghulu (Raja dalam suku), Manti (Menteri), Dubalang
(Polisi dalam suku) dan Malim (Kepala agama).[8]
Pendidikan
Islam di Minangkabau mengalami perkembangan yang pesat karena banyaknya
buku-buku pelajaran agama Islam yang masuk ke sana. Adapun susunan materi
pendidikan Islam di Minangkabau antara lain:
a. Belajar huruf Hijaiyah seperti halnya di
Aceh.
b. Pengajian kitab yang terbagi atas tiga
tingkatan, yaitu: Nahwu, Saraf, dan
Fiqih, Tauhid, Tafsir.
c. Pengajian ilmu Tasawuf, Mantiq, dan
Balaghah.
Sistem
pendidikan yang digunakan masih seperti masa-masa awal, yaitu halaqah dan
sistem majelis taklim. Di Minangkabau yang menjadi pusat pendidikan awal
permulaan Islam adalah Surau kemudian dibuat ruang-ruang berbentuk kelas,
dinamakan madrasah.
Sebagaimana
telah disebutkan di muka, bahwa Syekh Burhanuddin adalah orang pertama yang
melakukan pendidikan keislaman. Diantara muridnya yang termasyhur adalah Tuanku Mansiang Nan
Tuo di Paninjauan. Selain itu, ada pula Tuanku di Tanah Rao, dan masih banyak
lagi para Tuanku yang mengajarkan ilmu agama Islam di Minangkabau. Namun, perlu
dicatat bahwa untuk jalannya pendidikan Islam, tiap-tiap negeri mendirikan
balai adat (tempat musyawarah), masjid (tempat beribadah), air tepian (tempat
mandi), dan pasar (tempat berjual-beli).[9]
Pada tahun 1803, tiga orang anak
Minangkabau yang melaksanakan ibadah haji di Mekah, yaitu seorang dari Pandai
Sikat, seorang dari Sumanik (Tanah Datar) dan seorang lagi dari Piobang, Lima
Puluh Koto. Di Mekkah pada masa itu sedang gencar-gencarnya ajaran Wahabi, maka
merea pun mempelajari ajaran Islam Wahabi itu. Orang Pandai Sikat diberi gelar
Haji Miskin. Dalam mengajarkan ajaran agama Islam, ia menggunakan cara yang
dirasa oleh orang Minangkabau terlalu keras, hingga ia dikeluarkan oleh
penduduk setempat dari daerahnya, lalu ia pindah ke Luhak Limapuluh, bertempat
di masjid Sungai Landir di Air Tabit. Di sana, ia bersungguh-sungguh menjalankan ajaran Islam menurut mazhab Wahabi.
Akibatnya timbullah kerusuhan di dalam negeri sehingga merea sepakat untuk
membunuh Haji Miskin menyebabkan Minangkabau terpech menjadi dua aliran, yaitu
aliran lama yang dipimpin oleh Tuanku Nan Tuo dan Pakih Sagir yang tetap
menghormati adat yang sesuai dengan budaya Islam, dan aliran baru yang
menentang adat, yang pemimpinnya terkenal dengan sebutan Tuanku Nan Selapan
yang digelari orang Harimau Nan Selapan. Tuanku Nan Selapan ini terdiri dari:
1. Tuanku di Kubu Sanang;
2. Tuanku di Ladang Lawas;
3. Tuanku di Padang Luar;
4. Tuanku di Galung;
5. Tuaku di Koto Ambalau;
6. Tuanku di Lubuk Aur;
7. Tuanku di Bangsah (Tuanku Nan Rinceh);
8. Tuanku Haji Miskin.
Tokoh
yang terkenal dalam perang Paderi adalah Tuanku Imam Bonjol. Dari segi sejarah
pendidikan Islam Malin Basa (Tuanku Imam Bonjol) sangat berjasa dalam proses
penyebaran pendidikan agama Islam sesuai dengan sistem yang dibawa dari Mekkah.
Namun, penjajahan Belanda di Minangkabau selama 108 tahun, membuat pengajaran
agama Islam mundur sehingga datang pembaharu kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada masa sebelum tahun 1900,
sistem pendidikan di Minangkabau dinamai sistem lama. Sistem lama itu dilakukan
dengan pengajian Al-Qur’an sebagai pendidikan Islam pertama. Sistem ini
meliputi cara mengajarkan huruf Al-Qur’an (hijaiyah), yaitu dengan cara
mengajarkan nama-nama huruf menurut tertib Qidah Bagdadiyah, kemudian titik
huruf, macam-macam baris dan membaca juz Amma, selanjutnya mushaf Al-Qur’an.
Cara mengajarkan ibadah bermula dari bersuci, wudhu, lalu shalat. Cara
mengajarkan akhlak melalui cara menceritakan nabi-nabi dan orang shaleh, serta
suri teladan dari guru agamanya. Cara mengajarkan iman, dengan cara mengajarkan
keimanan. Pengajian kitab yang diajarkan bila anak telah mampu membaca
Al-Qur’an, yaitu dengan mempelajari kitab nahu, sharaf, ilmu fikih, ilmu tafsir
dan lain-lain.
Adapun
sistem baru yang digunakan dalam pendidikan dan pengajaran di Minangkabau
dimulai tahun 1900-1908. Pada tahun 1909-1930, lahirlah madrasah-madrasah yang
menggunakan sistem baru (klasikal). Sekolah yeng pertama kali menggunakan
sistem baru tersebut adalah Sekolah Adabiyah di Padang yang didirikan oleh
Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.[10]
Di
samping madrasah-madrasah yang diperuntukkan bagi anak-anak,
perguruan-perguruan tinggi Islam pun mulai berdiri seperti Sekolah Tinggi Islam
yang didirikan oleh Mahmud Yunus pada tanggal 9 Desember 1940.
Sejak
1945-1959 sekolah-sekolah pemerintah resmi dimasukkan, serta guru-guru agama
pun ditetapkan dan mendapat gaji. Hasil ini didapat diantaranya karena
perjuangan Mahmud Yunus yang pada waktu itu menjabat sebagai pemeriksa agama
pada kantor pengajaran di Minangkabau. Dari sanalah, pendidikan Islam
dikembangkan dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Di antara para
pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau adalah H. Muh. Taib Umar (1874-1920),
Syekh H. Abdul Karim Amrullah (1879-1945), Syekh H. Ibrahim Musa (1884), Syekh
Abdullah Ahmad (1878-1933), Syekh M. Jamil Jambek (1860-1947), Syekh H. Abbas
Abdullah (1883-1957), Zaenuddin Labai el Yunusi (1890-1924).
Merekalah
yang berjasa besar terhadap kemajuan pendidikan Islam di Minangkabau yang
sampai sekarang masih terus ditumbuhkembangkan.[11]
C.Sejarah
awal pertumbuhan surau
Kata-kata
surau dalam pengertian etimologi berasal dari Bahasa Sanskerta yang berasal
dari kata-kata “Suro”, diartikan sebagai “tempat penyembahan”. Berdasarkan
pengertian asalnya ini dapat disimpulkan bahwa pengertian surau pada awalnya
adalah: “Bangunan kecil tempat untuk penyembahan arwah nenek moyang”. Fungsi
surau berdasarkan pengertian di atas berjalan cukup lama, bahkan diperkirakan
sampai islam masuk ke daerah ini. Masa perkembangan berikutnya, yaitu ketika
surau di minangkabau memasuki tahap Islamisasi, terminologi surau kemudian
mengalami perluasan makna menjadi salah satu tempat peribadatan bagi umat islam
sekaligus menjadi salah satu institusi pendidikan Agama Islam bagi masyarakat
Minangkabau.
Aktivitas
ibadah dan pendidikan Islam muncul di surau untuk pertama kalinya ketika Syekh
Burhanuddin mengajarkan dan mengembangkan Islam di Surau Ulakan Pariaman.
Tatkala islam masuk, kehadiran surau pertama kali diperkenalkan oleh syekh
Burhanuddin sebagai tempat melaksanakan shalat dan pendidikan tharekat (suluk),
dengan cepat bisa tersosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau. Posisi surau kemudian mengalami perkembangan. Selain fungsinya
diatas, surau juga menjadi tempat berkumpulnya anak laki-laki yang telah baligh
dan persinggahan bagi para perantau.
Diantara
ulama besar minangkabau yang pernah belajar di surau ulakan adalah tuanku
mansiang nan tuo yang mendirikan surau paninjauan dan tuanku nan kacik yang
mendirikan surau di koto gedang. Kemudian ulama minangkabau ini melalaui
surau-surau yang didirikannya, menyebarkan ajaran islam yang menghasilkan
ulama-ulama islam minangkabau yang baru, seperti tuanku nan tuo di koto tuo.
Dari sini kemudian surau berkembang dengan pesat diwilayah minangkabau
Susunan
materi pendidikan Islam di Minagkabau, antara lain sebagai berikut:
a.
Belajar huruf hijaiyyah sebagaimana di Aceh
b.
Pengajian kitab yang terbagi atas tiga tingkatan,:
Mengaji
Nahwu, Saraf, dan Fiqih
c.
Mengaji Tauhid
d.
Mengaji Tafsir
e.
Pengajiian Ilmu Tasawuf
Dikemudian
hari baru diketahui sumber kitab-kitab baru yang masuk ke Minagkabau. Sumber
terbanyak adalah dari Mesir dan Singapura. Setelah berdiri took kitab Syekh
Ahmad Khalid Bukit tinggi kitab-kitab tersebut dipesan dari Mesir. Bahkan,
majalah Al Manar yang membawa aliran
baru itupun mudah masuk ke Minagkabau. System pendidikan yang digunakan masih
seperti masa-masa awal, yaitu system halaqah dan system majelis taklim.
Pada
tahun 1911, pendidikan islam di Minagkabau tidak hanya di Pandang sebagai milik
para murid madrasah atau santri, melainkan menjadi milik masyarakat Minangkabau
secara keseluruhan. Hal itu disebabkan lahirnya majalah pertama di Indonesia
yang memuat tentang pendidikan Islam untuk seluruh lapisan masyarakat yaitu
majalah Al Munir. Majalah ini diterbitkan di Padang oleh Syekh H. Abdulloh
Ahmad yang dibantu oleh Syekh Abdul Karim Amrulloh dan Syekh M. Thaib Umar juz
I majalah Al Munir terbit tanggal 1
April 1911M.
Beberapa
pokok masalah yang menjadi Objek berita majalah Al Munir sebagai bahan
peendidikan masyarakat luas Minagkabau adalah:
1. Nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh Islam dengan menyandarkan
seluruh isi ajaran kepada Al Qur’an dan Hadist.
2. Ilmu sejati, mengupas masalah keimanan
secara bersambung .
3. Beberapa risalah yang berkaitan
dengan perkembangann ilmu pengetahuan.
4. Soal jawab tentang berbagai persoalan
agama.
5.Berita tentang kejadian-kejadian yang ada di dalam dan di luar negeri
teruatam di neagara-negara Islam.
6.Buah pikiran yang isinnya mengajak para pembaca merenung dengan
menggunakan akal dan pikiranya.
7. Masalah adab dan akhlak yang
bersambung tiap-tiap juz.
8. Membrantas dongeng-dongeng , khurafat dan segala macam bentuk bid’ah
dalam agama.[12]
2. PENDIDIKAN ISLAM DI JAMBI
Jambi
adalah salah satu daerah yang berpegang teguh pada ajaran Islam. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya pesantren/madrasah di Jambi, seperti berikut:
1. Pesantren/ Madrasah Nurul Iman di Jambi
Pesantren
ini didirikan pada tahun 1332 H oleh H. Abdul Samad. Pada mulanya sistem ini
digunakan sama seperti pesantren-pesantren lainnya, yaitu sistem halaqah.
Namun, beberapa tahun kemudian memakai sistem klasikal, yaitu dalam pelaksanaan
pengajarannya menggunakan ruangan kelas, papan tulis, meja, bangku dan
sebagainya.
2. Madrasah Sa’adatud Darain
Madrasah
ini didirikan oleh H. Ahmad Syakur. Sistemnya sama dengan madrasah Nurul Iman.
Murid-muridnya kurang lebih 300 orang dengan gurunya 20 orang di tahun 1957.
3. Madrasah Nurul Islam
Madrasah
ini didirikan oleh Kamas H. Muh. Shaleh. Jumlah muridnya hampir sama dengan
madrasah Sa’adatud Darain.
4. Madrasah Jauharain
Madrasah
ini didirikan pada tahun 1340 H oleh H. Abd. Majid. Muridnya hampir sama dengan
madrasah Nurul Islam
-Madrasah As’ad
Madrasah
ini didirikan oleh K. Abd. Kadir pada tahun 1952. Sistemnya seperti dikemukakan
prof. H. Mahmud Yunus, yaitu mengikuti sistem-sistem madrasah di Minangkabau.
Begitu pula, buku-buku yang dipelajarinya.[13]
3.PENDIDIKAN ISLAM DI ACEH
Sejak
masuknya Islam ke Aceh sekitar tahun 1290 M, pendidikan Islam lahir dan tumbuh
dengan suburnya, terutama dengan berdirinya kerajaan Islam di Pasai.
Pesantren-pesantren pun dibangun dengan bantuan pihak pemerintah Islam pada
waktu itu. Masa pemerintahan Iskandar Muda, merupakan zaman keemasan bagi
pendidikan Islam sehingga tumbuh nama-nama ulama yang termasyhur seperti: Syekh
Nurudin Ar-Raniri, Syekh Ahmad Khatib Langin, Syekh Syamsudin As-Sumatrawi,
Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdur Rauf dan muridnya dan Syekh Burhanuddin yang
kemudian menjadi ulama besar di Minangkabau.
Syekh Abdur Rauf adalah ulama yang
menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu. Tafsir Al-Qur’an iru bernama
Tarjamanul Mustafid Bil Jawi. Ulama-ulama Aceh pun telah mengarang kitab-kitab
dengan bahasa Aceh, seperti: Akhbarul Karim, Bahaya Siribene dan masih banyak
lagi. Hal ihwal tentang pendidikan Islam di Aceh cukup semarak dan maju karena
mendapat dukungan dari pihak pemerintah. Namun, sangat disayangkan, keadaan
yang damai dalam menjalankan syariat pendidikan Islam terbengkalai setelah
timbulnya kerusuhan-kerusuhan antara kampung yang satu dan kampung yang
lainnya. Pada tahun 1873-1904 terjadi peperangan Aceh karena ulah para penjajah
Belanda terhadap umat Islam yang bermaksud menghancurkan persatuan dan kesatuan
di kalangan umat Islam.
Setelah
perang selesai, pendidikan Islam pun berkembang kembali hingga mengalami
berbagai pembaharuan mulai rencana pengajaran sampai pembagian tingkat atau
kelas.[14]
4.PENDIDIKAN ISLAM DI SUMATERA
UTARA
Pendidikan
Islam di Sumatera Utara ditandai oleh tumbuhnya berbagai pesantren dan madrasah
yang cukup qualified dalam mencetak kader penerus cita-cita bangsa dan agama.
Di antara pesantren yang terkenal adalah pesantren Syekh Hasan Ma’sum di Medan
(1916 M), Pesantren Syekh Abdul Wahab Sungai Lumut, Panai Labuhanbilik
(Labuhanbatu), Pesantren/ Madrasah Abdul Hamid Tanjung Balai, Asahan dan
Pesantren Syekh Sulaiman At-Tambusy (Kualuh). Adapuan madrasah yang terkenal
adalah Madrasah Maslurah (1331 H/ 1912 M), Madrasah Aziziyah (1923 M). Madrasah
Lilbanat, dan Maktab Islamiyah Tapanuli Medan (1336 H/ 1918 M).[15]
Pesantern
dan madrasah tersebut sudah mempraktikkan rencana pengajaran yang tersusun rapi
memakai sistem klasikal dan bertingkat bagi madrasah, mempelajari kitab klasik
bagai pesantren dan ilmu pengetahuan umum bagi madrasah.
Di
samping pesantren dan madrasah, telah berdiri pula Universitas Islam Sumatera
Utara (UISU) yang didirikan di Medan tanggal 7 Januari 1952 M yang mulanya
bernama Perguruan Tinggi Islam Indonesia Medan. Perubahan nama menjadi UISU
terjadi pada tahun 1956 M.
5.PENDIDIKAN ISLAM DI SUMATERA
SELATAN (PALEMBANG DAN LAMPUNG)
Memasuki
tahun 1930-an muncul berbagai lembaga pendidikan Islam di beberapa wilayah di
karesidenan Palembang, terutama di Palembang antara lain; Madrasah Al-Ilhsan 10
ilir, Madrasah Arabiyah 13 Ulu, Madrasah Nurul Falah, Madrasah Muhammadiyah,
Madrasah Darul Funun dan Madrasah Ma’had Islami Selain dalam format Madrasah,
Lembaga pendiidkan Islam di Palembang juga muncul dalam format sekolah umum ala
Belanda yang akhirnya disebut sekolah Islam, artinya dalam penyelenggaraan
pendidikannya juga menyajikan materi pelajaran agama. Berbagai pembaharuan
dalam berbagai unsur baik dari segi organisasi, administrasi, kurikulum maupun
aspek-aspek yang terdapat dalam system dan lembaga pendidikan Islam di
Palembang dan bersumber pada ide-ide yang dibawa oleh para alumni pusat-pusat
pendidikan Islam di Timur Tengah, adopsi dari sistem dan lembaga dan lembaga
pendidikan Barat yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain itu
bersumber juga dari gerakan pembaharuan pendidikan pendidikan di Indonesia
khususnya dari pulau jawa dan pemikiran serta aksi pembaharuan social dan
keagamaan Islam yang dibawa oleh organisasi Islam semacam Muhammadiyah dan
Al-Irsyad.
Sistem
pengajaran di pesantren dan madrasah di Sumatera Selatan dalam hal pendidikan
Islam hampir sama dengan di Jawa, bagitu pula kitab yang dipelajrainya.
Pesantren dan madrasah yang terkenal, seperti: madrasah Al-Qur’aniyah, Sekolah
Ahliyah Diniyah, Madrasah Nurul Falah dan Madrasah Darul Funun.
Di
samping pesantren dan madrasah juga telah berdiri Perguruan Islam Tinggi
Palembang di Sumatera Selatan pada tahun 1957 M.[16]
6. Sekilas tokoh syekh Burhanuddin
Syekh
Burhanuddin dilahirkan di Sintuk Pariaman pada tahun 1066 H = (1646 M) dan
wafat 1111 H (1691 M). Menurut riwayatnya, syekh Burhanuddin belajar ilmu agama
di Aceh (Kotaraja) pada Syekh Abdur-Rauf bin Ali berasal dari Singkil. Beliau
belajar dengan rajin, sehingga menjadi seorang ulama besar. Kemudian beliau
kembali pulang ke Pariaman menyiarkan ilmu agama Islam. Mula-mula di kampung
tempat lahirnya di Sintuk, kemudian pindah ke Ulakan. Di Ulakan beliau
mengajarkan ilmu agama Islam dan membuka madrasah (surau) tempat pendidikan dan
pengajaran Islam
Beberapa
tahun lamanya beliau menunaikan tugasnya memberikan pendidikan dan pengajaran
Islam, maka pada tahun 1111 H = (1691 M) beliau meninggal dunia dalam usia
kurang lebih 45 tahun. Dan dikuburkan di Ulakan, tempat beliau mengajar itu.
Kemudian berturut-turut digantikan oleh murid-muridnya yang meninggal pula di
sana ada yang di kuburkan dekat kuburan gurunya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perjalanan
sejarah pendidikan islam di Indonesia terjadi karena lahirnya kerajaan islam di Indonesia yang sangat mewarnai
sejarah pendidikan islam di Indonesia terlebih-lebih agama islam di Indonesia,
pengajaran islam serta penyebaran islam bertambah maju.
Para
ahli sependapat bahwa agama Islam sudah masuk ke indonesia (khususnya Sumatera)
sejak abad ke-7 atau 8 M. Pada zaman kerajaan Samudera Pasai, sistem pendidikan
mencakup: materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at ialah fiqih
mazhab syafi’i; sistem pendidikannya secara informal berupa majelis taklim dan
halaqah; tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh agama; biaya pendidikan
agama bersumber dari negara.
B.
Saran
Demikianlah
isi dari makalah kami ini. Dan kami sangat menyadari bahwa dalam penulisan
maupun penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun diri
para pembaca dimi perbaikan makalah ini agar menjadi lebih baik lagi
selanjutnya.
Akhirulkallam,
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata-kata, dan
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini kami
ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Rukiati,
K Enung dan Hikmawati, Fenti. 2006. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia
Hasbullah.
1999. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zuharini,
dkk. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Yunus,
Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya
Drs.
H. A. Mustofa, Drs. Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Pustaka setia, Bandung: 1999.
Dra.
Hj. Enung K Rukiati, Dra. Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, pustaka setia, Bandung; 2006.
[1]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.29
[2]Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.
28
[4]Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.
30
[5]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.32
[6] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 32
[7]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.34
[8]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.35
[9]Ibi, 35
[10]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.37
[11]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.37
[12]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.69
[13]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.69
[14]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.69
[15]Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992), hlm.
185
[16]Enung K Rukiati dkk, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.40
Comments
Post a Comment